Menyaksikan murid-murid bertepuk tangan bagi seorang guru tentu menyenangkan, ketika mereka sedang berlatih pramuka. Tapi yang kualami sebaliknya, sedih, sakit hati ini, trenyuh, tapi apa mau di kata, karena kenyataan demikian. Murid yang telah lulus sekitar 8 tahun lalu terlihat sedang bertepuk tangan namun tidak membuat hatiku senang, tetapi sebaliknya. Mngapa demikian ?
Pada siang hari panas menyengat aku berhenti mengendarai motor, pada saat lampu merah menyala di perempatan jalan. Tak sengaja terlihat didepanku, dan yakin bahwa dia adalah bekas muridku yang telah lalu, dengan pakaian lusuh tidak terawat, dengan langkah seenaknya menghampiri mobil di sebelahku dan mendekati sopir tentunya sambil menepukkan kedua belah telapak tangannya, tanpa alat sedikitpun layaknya orang ngamen. Anak seusianya semestinya berada kantor, atau bekerja di sebuah perusahaan atau usaha lain yang menghasilkan uang. Aku yakin sekali bahwa orang tersebut pernah kuberi pelajaran di sekolah. Yang tidak habis pikir, selama mengajar selalu berharap anak didiknya kelak akan sukses, bekerja sesuai dengan bidang yang dimiliki.
Sambil menunggu lampu hijau, kutatap terus orang tersebut. Sambil bertepuk tangan sebagai pengganti alat mengamen, orang tersebut mengulurkan tangan pada sopir mobil. Sopir mobilpun menyodorkan tangan sambil mengulurkan tangan dan memberikan uang seribuan.
Sakit sekali hati ini menyaksikan pemandangan tersebut, meskipun sudah berhari-hari, bayang-bayang pemandangan tersebut tidak bisa hilang dari ingatan. Bukan kesuksesan bekas seorang murid, tetapi kepedihan.